Kumpulan Puisi Karya Taufiq Ismail Bagian 2
Pada kesempatan sebelumnya, Media
Pembelajaran pernah menyajikan Kumpulan Puisi Karya Taufiq Ismail pada bagian pertama. Nah, kali ini kami sajikan Puisi-puisi Karya Taufiq Ismail
Bagian Kedua. Silahkan di simak ya!
Kumpulan Puisi Karya Taufiq Ismail Bag. 2
SAJADAH PANJANG
Ada sajadah panjang terbentang
Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba
Kuburan hamba bila mati
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan sujud
Di atas sajadah yang panjang ini
Diselingi sekedar interupsi
Mencari rezeki, mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Begitu terdengar suara azan
Kembali tersungkur hamba
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan rukuk
Hamba sujud dan tak lepas kening hamba
Mengingat Dikau
Sepenuhnya.
1984
(dinyanyikan Himpunan Musik Bimbo)
DOA ORANG KUBANGAN
di hilir pemandian masih saja Kau sediakan
logam mulia sebagai pancuran dan bejana platina bergagang emas tempat kami
membasuh getah membilas dahak menguliti lendir mengikis selaput nanah menyadap
barah ludah yang bertetesan berguguran berserakan di genangan yang jadi
kubangan menggerakkan cairan isi lambung bertukak insisi pada hepar dijerat
lemak dengan aroma yang menggilas dedaunan jadi kuning kering berguguran dan
bermilyar insekta bunuh diri bersama
kami pun sejadi-jadi mandi, serasa untuk
terakhir kali
setiap kerak lumpur gugur penyesalan macam
cengkeram dengan sembilu seribu
ada kultus dinyanyikan ada kultus
berbayang-bayang ada pula tiada mana kentara beda lumpur selutut atau luluk
bepercikan telah ke tangan dan muka
dan bejana ini kami tating bersama ada
hangat air dari mata dan telapak kaki bergerak ke hulu terasa sejuk penuh di
atas lantai pualam pemandian dengan air pancuran hening bening bercucuran.
1998
PEGAWAI
NEGERI
Setiap kami menyaksikan berbagai
penghargaan diberikan
Di istana negara, dalam macam-macam
upacara
Satu saja yang tak tampak di layar kaca
Penyerahan medali dan selempang
warni-warna pada
Pegawai Negeri
Paling Jujur
Tahun Ini
Wakil dari mereka yang tak pernah
kecukupan dalam rezeki
Wakil dari mereka yang sudah luluh dalam
keluh
Anak-anak berlahiran juga, nafkah selalu
payah
Dalam pemilihan umum selalu diancam
macam-macam
Tak pandai ngobyek, tak disertakan dalam
proyek
Dalam kalkulasi hidup mana pernah bisa
cukup
Tapi ajaib tak sampai terdengar
bergeletakan kelaparan
Ada saja jalan keluar yang meringankan
beban
Anak-anak pun tahu diri orang tua pegawai
negeri
Susah payah sekolah dan kuliah, dan kok ya
jadi
Insinyur, dokter, pengacara, S-dua dan
Pi-Eic-Di
Lumayanlah, walau tak sangat banyak
barangkali
Apabila di dunia ada tujuh macam keajaiban
Maka fenomena pegawai negeri sini mesti
yang ke delapan
Menurut teori mutakhir administrasi dan
metoda renumerasi
Mestinya di awal karier dulu dari dunia
sudah permisi
Memang ada yang terlibat proyek dan
bersiram komisi
Tapi itu ‘kan jumlahnya terbatas sekali,
yakni
Mereka yang berkerumun di sekitar keran
pembangunan
Selebihnya hidup rutin ya begitu itu
Dan pastilah ada juga yang jujur secara
sejati
Yang membuat lentur tegang-kakunya
prosedur
Bukan mempersukar-sukar, justru memudahkan
urusan
Yang betul-betul melayani rakyat, bukan
budak kekuasaan
Yang susah payah istikomah di dalam
kehalalan rezeki
Yang menahankan pedihnya susah nafkah
Yang masih saja bisa bertahan dilanda arus
materi
Mereka tak tampak oleh mata kami
Mereka bukan tipe mengeluh-mengadu ke sana
ke mari
Mungkin karena maqamnya sudah mirip orang
sufi
Siapa tahu mereka lah sebenar penyangga
struktur ini
Yang begitu lapuk rayap dan roboh sudah
mesti
Tapi sampai sekarang masih juga berdiri
Mereka sungguh kami hormati
Terutama para guru yang begitu sabar
menyebar ilmu
Dan semua yang berdedikasi sejati di
struktur birokrasi
Masih tetap bertahan diterjang gelombang
hidup serba materi
Kalian tidak nampak, karena memang
merundukkan diri.
1998
LONCENG TINJU
Setiap kali lonceng berkleneng
Tanda putaran dimulai
Setiap kali mereka bangkit
Dan mengepalkan tinju
Setiap teriakan histeria
Bergemuruh suaranya
Aku kelu
Dan merasa di pojok
Sendirian
Setiap lonceng berklenengan
Dan tinju mulai berlayangan
Meremuk kepala lawan
Terkilas dalam ingatan
Nenekku dulu berkata
“Jangan kamu mengadu ayam”
Dan bila aku menuntut ilmu
Di Kedokteran Hewan
Guruku menasihatkan
“Jangan kamu mengadu hewan”
Kini lagi, bel itu berklenengan
Aku tersudut, bisu
Dan makin merasa
Sendirian
1987
LONDON, ABAD SEMBILAN BELAS
1
Pada ronde ke-99 yang berdarah-darah
Petinju Simon Byrne selesai sudah
Dia mati memuaskan penontonnya
Tinju maut Si Tuli James Burke
Diacung-acungkan wasit
Para penonton berteriak gembira
Polisi Inggeris datang bertugas
Peraturan langsung menjerat kedua
tangannya
Tapi anehnya dia dibebaskan, tak lama
Inilah ejekan pada undang-undang
Walau pun ada manusia masih terlarang
Putusan pengadilan bisa diperjual-belikan
2
Lalu tengoklah berbondong-bondong penonton
Naik kereta api dari Setasiun Jambatan
London
Menuju tempat rahasia, 25 mil jauhnya
Inilah pertandingan pertama antarbangsa
Tom Sayers juara Britania
Diadu John Heenan jagoan Amerika
Sastrawan Dickens dan Thackeray menonton
juga
Sesudah 42 putaran adu manusia
Keduanya berdarah-darah, lebam, habis daya
Tak berketentuan wasit apa keputusannya
Para penonton berteriak dalam histeria
Mengacung-acungkan tinju ke udara
Polisi melakukan interupsi
Para juri dipisuhi, wasit dimaki-maki
Penonton-penonton tak puas jadi buas
Mereka lalu bertinju sesama mereka
Mereka bergigitan seperti serigala
Melolong bagai gorila
Pertunjukan jadi lengkap
Dan lumayan biadab
3
Itulah adegan abad sembilan belas
Asal-usul adu manusia yang kita tidak tahu
Tapi ujungnya kita tiru-tiru
Sebagai bangsa minder apa saja dari Eropa
dan Amerika
Seperti kawanan bebek diturut dan
ditirukan saja
Sudah jelas ini adu manusia mereka bilang
olahraga
Seperti kambing mengembik kita setuju pula
Inilah budaya tanpa pikir kita jiplak
begitu saja
Dari abad 19 orang masuk ke abad 20
Di awal abad, adu manusia di sana dilarang
undang-undang
Tapi pemilik modal si orang kaya membeli
undang-undang
Disobek dicincang itu dokumen
undang-undang
Sebagai sampah hukum masuk keranjang
Adu manusia jadi tidak lagi terlarang
Lengkaplah bagian biadab budaya barat
Yang garang, bringasan dan tamak pada uang
Menjalar ke negeri sini, ditiru dan
diulang-ulang
Sudahlah minder, ditambah gebleg, kita tak
kepalang
4
Pada hari ini akhir abad dua puluh
Kakiku satu sudah masuk abad dua puluh
satu
Kita ketemu
Kau ajak aku balik ke abad sembilan belas
Lho tapi, kita ‘kan mau menembus abad 21
Kenapa kau bujuk aku balik ke abad 19 lagi
Mana aku mau
Tapi kau berkeras balik kanan juga
Kau tetap mau ditipu, adu manusia itu
olahraga
Kau menanam bibit kekerasan dan
kebringasan
Sudah berapa puluh tahun jangka waktunya
Kau sudah panen lama kau mana tahu itu
Bibitmu tumbuh, menyebar dan membesar
Karena kau rabun mana bisa itu kau baca
Ke masyarakatmu tak pernah kau berkaca
Dan kau berkeras balik kanan juga
Kau tak tahu sudah kusiapkan tali rafia
biru
Diam-diam kuikat kedua pergelangan
tanganmu
Kuseret kau masuk abad 21
Masih saja kau berteriak tak tahu malu
“Tidak mau! Tidak mau!”
Tengoklah anak-anak yang berpikir itu
Mereka terheran-heran melihat kamu.
1989
PELAJARAN TATABAHASA DAN MENGARANG
“Murid-murid, pada hari Senin ini
Marilah kita belajar tatabahasa
Dan juga sekaligus berlatih mengarang
Bukalah buku pelajaran kalian
Halaman enam puluh sembilan
“Ini ada kalimat menarik hati, berbunyi
‘Mengeritik itu boleh, asal membangun’
Nah anak-anak, renungkanlah makna ungkapan
itu
Kemudian buat kalimat baru dengan
kata-katamu sendiri.”
Demikianlah kelas itu sepuluh menit
dimasuki sunyi
Murid-murid itu termenung sendiri-sendiri
Ada yang memutar-mutar pensil dan bolpoin
Ada yang meletakkan ibu jari di dahi
Ada yang salah tingkah, duduk gelisah
Memikirkan sejumlah kata yang bisa serasi
Menjawab pertanyaan Pak Guru ini
“Ayo siapa yang sudah siap?”
Maka tak ada seorang mengacungkan tangan
Kalau tidak menunduk sembunyi dari incaran
guru
Murid-murid itu saling berpandangan saja
Akhirnya ada seorang disuruh maju ke depan
Dan dia pun memberi jawaban
“Mengeritik itu boleh, asal membangun
Membangun itu boleh, asal mengeritik
Mengeritik itu tidak boleh, asal tidak
membangun
Membangun itu tidak asal, mengeritik itu
boleh tidak
Membangun mengeritik itu boleh asal
Mengeritik membangun itu asal boleh
Mengeritik itu membangun
Membangun itu mengeritik
Asal boleh mengeritik, boleh itu asal
Asal boleh membangun, asal itu boleh
Asal boleh itu mengeritik boleh asal
Itu boleh asal membangun asal boleh
Boleh itu asal
Asal itu boleh
Boleh boleh
Asal asal
Itu itu
Itu.”
“Nah anak-anak, itulah karya temanmu
Sudah kalian dengarkan ‘kan
Apa komentar kamu tentang karyanya tadi?”
Kelas itu tiga menit dimasuki sunyi
Tak seorang mengangkat tangan
Kalau tidak menunduk di muka guru
Murid-murid itu cuma berpandang-pandangan
Tapi tiba-tiba mereka bersama menyanyi:
“Mengeritik itu membangun boleh asal
Membangun itu mengeritik asal boleh
Bangun bangun membangun kritik mengeritik
Mengeritik membangun asal mengeritik
“Dang ding dung ding dang ding dung
Ding dang ding dung
Dang ding dung ding dang ding dang
Ding dang ding dung.”
“Anak-anak, bapak bilang tadi
Mengarang itu harus dengan kata-kata
sendiri
Tapi tadi tidak ada kosa kata lain sama
sekali
Kalian cuma mengulang bolak-balik yang
itu-itu juga
Itu kelemahan kalian yang pertama
Dan kelemahan kalian yang kedua
Kalian anemi referensi dan melarat bahan
perbandingan
Itu karena malas baca buku apalagi karya
sastra.”
“Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan
apalagi dicerca
Bila kami tak mampu mengembangkan kosa
kata
Selama ini kami ‘kan diajar menghafal dan
menghafal saja
Mana ada dididik mengembangkan logika
Mana ada diajar berargumentasi dengan
pendapat berbeda
Dan mengenai masalah membaca buku dan
karya sastra
Pak Guru sudah tahu lama sekali
Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun
drama dan rabun puisi
Tapi mata kami ‘kan nyalang bila menonton
televisi.”
1997
Selanjutnya: Kumpulan Puisi Karya Taufiq Ismail Bagian Ketiga
Post a Comment for "Kumpulan Puisi Karya Taufiq Ismail Bagian 2"