Kumpulan Puisi Karya Taufiq Ismail Bagian 3
Pada kesempatan sebelumnya, Media
Pembelajaran pernah menyajikan Kumpulan Puisi Karya Taufiq Ismail pada bagian kedua. Nah, kali ini kami sajikan Puisi-puisi Karya Taufiq Ismail
Bagian Ketiga. Silahkan di simak ya!
Kumpulan Puisi Karya Taufiq Ismail Bagian 3
BUNGA ALANG - ALANG
Bunga alang-alang
Di tebing kemarau
Menggelombang
Mengantar
Bisik cemara
Dalam getar
Di jalan setapak
Engkau berjalan
Sendiri
Ketika pepohon damar
Menjajari
Bintang pagi
Sesudah topan
Membarut
Warna jingga
Dan seribu kalong
Bergayut
Di puncak randu
Di bawah bungur
Kaupungut
Bunga rindu
Sementara awan
Menyapu-nyapu
Flamboyan
Kemarau pun
Berangkat
Dengan kaki tergesa
Dalam angin
Yang menerbangkan
Serbuk bunga.
1963
PALESTINA, BAGAIMANA AKU MELUPAKANMU
Ketika rumah-rumahmu diruntuhkan bulldozer
dengan suara gemuruh
menderu, serasa pasir dan batu bata
dinding kamartidurku
bertebaran di pekaranganku, meneteskan
peluh merah dan
mengepulkan debu yang berdarah.
Ketika luasan perkebunan jerukmu dan
pepohonan apelmu dilipat-lipat
sebesar saputangan lalu di Tel Aviv
dimasukkan dalam fail lemari
kantor agraria, serasa kebun kelapa dan
pohon manggaku di kawasan
khatulistiwa, yang dirampas mereka.
Ketika kiblat pertama mereka gerek dan
keroaki bagai kelakuan reptilia bawah
tanah dan sepatu sepatu serdadu menginjaki
tumpuan kening kita
semua, serasa runtuh lantai papan surau
tempat aku waktu kecil
belajar tajwid Al-Qur’an 40 tahun silam,
di bawahnya ada kolam ikan
yang air gunungnya bening kebiru-biruan
kini ditetesi
air
mataku,
Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu,
Ketika anak-anak kecil di Gaza belasan
tahun bilangan umur mereka,
menjawab laras baja dengan timpukan batu
cuma, lalu dipatahi
pergelangan tangan dan lengannya, siapakah
yang tak menjerit serasa
anak-anak kami Indonesia jua yang dizalimi
mereka – tapi saksikan
tulang muda mereka yang patah akan bertaut
dan mengulurkan
rantai amat panjangnya, pembelit leher
lawan mereka, penyeret
tubuh si zalim ke neraka.
Ketika kusimak puisi-puisi Fadwa Tuqan,
Samir Al-Qassem, Harun Hashim
Rashid, Jabra Ibrahim Jabra, Nizar Qabbani
dan seterusnya yang
dibacakan di Pusat Kesenian Jakarta,
jantung kami semua berdegup
dua kali lebih gencar lalu tersayat oleh
sembilu bambu deritamu,
darah kamipun memancar ke atas lalu
meneteskan guratan kaligrafi
‘Allahu Akbar!’
dan
‘Bebaskan Palestina!’
Ketika pabrik tak bernama 1000 ton sepekan
memproduksi dusta,
menebarkannya ke media cetak dan
elektronika, mengoyaki
tenda-tenda pengungsi di padang pasir
belantara,
membangkangi resolusi-resolusi majelis
terhormat di dunia,
membantai di Shabra dan Shatila, mengintai
Yasser Arafat,
Ahmad Yassin dan semua pejuang negeri
anda, aku pun
berseru pada khatib dan imam shalat Jum’at
sedunia: doakan
kolektif dengan kuat seluruh dan setiap
pejuang yang
menapak jalanNya, yang ditembaki dan kini
dalam penjara,
lalu dengan kukuh kita bacalah
‘la quwwatta illa bi-Llah!’
Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu
Tanahku jauh, bila diukur kilometernya,
beribu-ribu
Tapi azan Masjidil Aqsha yang merdu
Serasa terngiang-ngian di telingaku.
1989
AIR KOPI MENYIRAM HUTAN
Tiga juta hektar
Halaman surat kabar
Telah dirayapi api
Terbit pagi ini
Panjang empat jari
Dua kolom tegaklurus
Dibongkar dari pik-ap
Subuh dari percetakan
Ditumpuk tepi jalan
Dibereskan agen koran
Sebelum matahari dimunculkan
Dilempar ke pekarangan
Dipungut oleh pelayan
Ditaruh di mejamakan
Ditengok secara sambilan
Dasi tengah diluruskan
Rambut isteri kekusutan
Empat anak bersliweran
Pagi penuh kesibukan
Selai di ujung tangan
Roti dalam panggangan
Ketika tangan bersilangan
Kopi tumpah di bacaan
Menyiram tigajutahektar koran
Dua kolom kepanjangan
Apipadam menutup hutan
Koranbasah dilipat empat
Keranjang plastik anyaman
Tempat dia dibuangkan
Tepat pagi itu
Jam setengah delapan.
1988
BERI DAKU SUMBA
di Uzbekistan, ada padang terbuka dan
berdebu
aneh, aku jadi ingat pada Umbu
Rinduku pada Sumba adalah rindu
padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api di atas sana
Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak
perjaka
Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung
harga
Tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas
rumput
Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan
gembala
Berdirilah di pesisir, matahari ‘kan
terbit dari laut
Dan angin zat asam panas dikipas dari sana
Beri daku sepotong daging bakar, lenguh
kerbau dan sapi malam hari
Beri daku sepucuk gitar, bossa nova dan
tiga ekor kuda
Beri daku cuaca tropika, kering tanpa
hujan ratusan hari
Beri daku ranah tanpa pagar, luas tak
terkata, namanya Sumba
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu
ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit
yang jauh
Sementara langit bagai kain tenunan
tangan, gelap coklat tua
Dan bola api, merah padam, membenam di
ufuk teduh
Rinduku pada Sumba adalah rindu
padang-padang terbuka
Di mana matahari bagai bola api, cuaca
kering dan ternak melenguh
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu
ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit
yang jauh.
1970
SYAIR UNTUK SEORANG PETANI DARI WAIMITAL,
PULAU SERAM, YANG PADA HARI INI PULANG KE ALMAMATERNYA
I
Dia mahasiswa tingkat terakhir
ketika di tahun 1964 pergi ke pulau
Seram
untuk tugas membina masyarakat tani
di sana.
Dia menghilang
15 tahun lamanya.
Orangtuanya di Langsa
memintanya pulang.
IPB memanggilnya
untuk merampungkan studinya,
tapi semua
sia-sia.
II
Dia di Waimital jadi petani
Dia menyemai benih padi
Orang-orang menyemai benih padi
Dia membenamkan pupuk di bumi
Orang-orang membenamkan pupuk di bumi
Dia menggariskan strategi irigasi
Dia menakar klimatologi hujan
Orang-orang menampung curah hujan
Dia membesarkan anak cengkeh
Orang kampung panen raya kebun
cengkeh
Dia mengukur cuaca musim kemarau
Orang-orang jadi waspada makna
bencana kemarau
Dia meransum gizi sapi Bali
Orang-orang menggemukkan sapi Bali
Dia memasang fondasi tiang lokal
sekolah
Orang-orang memasang dinding dan
atapnya
Dia mengukir alfabet dan mengamplas
angka-angka
Anak desa jadi membaca dan menyerap
matematika
Dia merobohkan kolom gaji dan karir
birokrasi
Kasim Arifin, di Waimital
Jadi petani.
III
Dia berkaus oblong
Dia bersandal jepit
Dia berjalan kaki
20 kilometer sehari
Sesudah meriksa padi
Dan tata palawija
Sawah dan ladang
Orang-orang desa
Dia melintas hutan
Dia menyeberang sungai
Terasa kelepak elang
Bunyi serangga siang
Sengangar tengah hari
Cericit tikus bumi
Teduh pohonan rimba
Siang makan sagu
Air sungai jernih
Minum dan wudhukmu
Bayang-bayang miring
Siul burung tekukur
Bunga alang-alang
Luka-luka kaki
Angin sore-sore
Mandi gebyar-gebyur
Simak suara azan
Jamaah menggesek bumi
Anak petani diajarnya
Logika dan matematika
Lampu petromaks bergoyang
Angin malam menggoyang
Kasim merebah badan
Di pelupuh bambu
Tidur tidak berkasur.
IV
Dia berdiri memandang ladang-ladang
Yang ditebas dari hutan rimba
Di kakinya terjepit sepasang sandal
Yang dipakainya sepanjang Waimital
Ada bukit-bukit yang dulu lama kering
Awan tergantung di atasnya
Mengacungkan tinju kemarau yang
panjang
Ada bukit-bukit yang kini basah
Dengan wana sapuan yang indah
Sepanjang mata memandang
Dan perladangan yang sangat panjang
Kini telah gembur, air pun
berpacu-pacu
Dengan sepotong tongkat besar, tiga
tahun lamanya
Bersama puluhan transmigran
Ditusuk-tusuknya tanah kering
kerontang
Dan air pun berpacu-pacu
Delapan kilometer panjangnya
Tanpa mesin-mesin, tiada anggaran
belanja
Mengairi tanah 300 hektar luasnya
Kulihat potret dirimu, Sim, berdiri
di situ
Muhammad Kasim Arifin, di sana,
Berdiri memandang ladang-ladang
Yang telah dikupasnya dari hutan
rimba
Kini sekawanan sapi Bali mengibas-ngibaskan
ekor
Di padang rumput itu
Rumput gajah yang gemuk-gemuk
Sayur-sayuran yang subur-subur
Awan tergantung di atas pulau Seram
Dikepung lautan biru yang amat
cantiknya
Dari pulau itu, dia telah pulang
Dia yang dikabarkan hilang
Lima belas tahun lamanya
Di Waimital Kasim mencetak harapan
Di kota kita mencetak keluhan
(Aku jadi ingat masa kita diplonco
Dua puluh dua tahun yang lalu)
Dan kemarin, di tepi kali Ciliwung
aku berkaca
Kulihat mukaku yang keruh dan leherku
yang berdasi
Kuludahi bayanganku di air itu karena
rasa maluku
Ketika aku mengingatmu, Sim
Di Waimital engkau mencetak harapan
Di kota, kami …
Padahal awan yang tergantung di atas
Waimital, adalah
Awan yang tergantung di atas kota
juga
Kau kini telah pulang
Kami memelukmu.
1979
Catatan: Bagian IV puisi ini saya bacakan
pada hari wisuda Institut Pertanian Bogor di kampus Darmaga, Sabtu, 22
September 1979, sesudah M. Kasim Arifin menerima gelar Insinyur Pertanian.
Sebelumnya, Kasim yang sudah 15 tahun dikabarkan hilang, tapi ternyata menanam
akar di Waimital enggan memenuhi panggilan Rektor Prof. Dr. Ir. Andi Hakim
Nasoetion. Pada kali ketiga kedatangan utusan Rektor, yaitu sahabatnya Saleh
Widodo, baru Kasim mau datang ke Bogor. Dia terharu karena penghargaan alma
maternya, tapi pada hakekatnya dia tidak memerlukan gelar akademik. Pada hari
wisuda itu Kasim yang berbelas tahun berkaus oblong dan bersandal jepit saja,
kegerahan karena mengenakan jas, dasi dan sepatu, hadiah patungan sahabat-sahabatnya.
Mahasiswa-mahasiswa IPB mengerumuninya
selalu dan mengaguminya sebagai teladan keikhlasan pengamalan ilmu pertanian di
pedesaan. Berbagai tawaran pekerjaan disampaikan padanya, tapi dia kembali lagi
ke desa Waimital sesudah wisuda. Baru sesudah itu dia menerima pekerjaan
sebagai dosen di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, di tanah asalnya. Tawaran
meninjau pertanian di Amerika Serikat ditolaknya. Ketika ditanya kenapa
kesempatan jalan-jalan ke A.S. itu tak diterimanya, sambil tertawa Kasim
berkata bahwa pertama-tama jangankan bahasa Inggeris, bahasa Indonesianya saja
sudah banyak lupa. Kemudian yang penting lagi, katanya, apa manfaatnya meninjau
pertanian di sana, yang berbeda sekali dengan pertanian kita di sini.
Kesempatan meninjau sambil liburan tamasya ke A.S. itu tak menarik hatinya.
SEJARUM PENITI,
SEPUNGGUNG GUNUNG
Puisi punya kepentingan besar
terhadap bertrilyun daunan yang terpasang
tepat dan rimbun pada pepohonan
pada bermilyar pepohonan yang
terpancang rapi
di permukaan bukit, pegunungan,
lembah dan dataran pantai
Yang dialiri beratus juta kilometer
kubik
air berbentuk padat,cair dan gas
dalam gerakan dinamik yang kau tak
habis kagumi ruwetnya:
tegak lurus dari atas ke bawah, tegak
lurus dari bawah ke atas
miring terjal miring landai,
beringsut dari kiri ke kanan,
bergulir dari kanan ke kiri
menembus permukaan daun, meluncuri
serat-serat kayu
mendaki akar, menaiki elevator
serambut
yang tersusun rapi dalam batang kayu
menguap gaib lewat noktah-noktah
jendela mikroskopis
lalu bergabung dalam substansi
gas-gas yang tak dapat
kau sentuh, kau cium, kau tatap,
beribu-ribu klasifikasinya
semua tersusun dalam komposisi yang
begitu rumit
tapi demikian teraturnya, yang memungkinkan
kau
menengadah ke atas sana, dan tersiuk
berkata
waduh
biru
bersih
betul
langit itu
dan tengoklah serpihan-serpihan bulu
domba berserak di angkasa
dengarlah angin telah berganti baju
jadi musik gesek instrumental
yang melatarbelakangi semua ini, dan
kulihat kau menitikkan
dua
tetes
cairan
dari kedua sudut kelopak mata kau
itu.
Puisi punya kepentingan besar
terhadap air yang tersedia
dalam berbagai ukuran bejana bumi
mengalir melalui bermacam format
saluran tanah
dihuni oleh perenang-perenang sejati
yang berukuran
mulai dari
sejarum peniti sampai sepunggung
gunung
dengan warna-warni panorama bawah
laut
yang luar biasa menakjubkan
bayangan dan penafsiran dari angkasa
penuh cahaya
yang menaunginya
yang di atasnya mengapung dan
mengepak
berjuta penerbang bersayap dengan
gerakan matematis
bercumbu dengan angin dan
bercakap-cakap dengan cuaca.
Puisi punya kepentingan besar
terhadap unggas-unggas itu
yang ketika mengapung di atas sana
hinggap di dahan atau mengais tanah
berdialog dengan seluruh makhluk
penghuni bumi
melata dia merangkak dia berjalan dua
kaki dia
menyusupi rumput dia menyelami tanah
dia
dan paru-paru mereka berdenyut,
jantung mereka berdetak
susunan syaraf mereka memberi
sinyal-sinyal cendekia
dalam sirkulasi zat asam yang
siklusnya ruwet
tapi dapat dijelaskan lewat bahasa
apa pun
dan susunan angka-angka apa pun
sehingga dapat kita raba
peradaban
dan budaya.
Puisi mencatatnya semua,
menyampaikannya kembali
dengan sentuhan yang indah dan penuh
keterharuan
mengulangi ini lewat daurnya
sendiri-sendiri
berabad lamanya beriringan
denyut zikir tiada putusnya tegak
lurus ke arah
Asal
Ini
Semua.
Puisi dengan penuh rasa khawatir,
curiga dan cemburu
menyaksikan dedaunan, pepohonan,
unggas, ikan,
cuaca, zat asam, susunan syaraf,
sungai, danau, lautan
bercakap serak dan gagu dengan
sesamanya
bagi kawanan makhluk yang telah
dilucuti kesempurnaannya
dalam harmoni yang dulu tiada
tertandingi.
Huruf-huruf kapital telah mengeja
keserakahan,
mengejek kemiskinan, mencetak
kekerasan, melestarikan penindasan,
menyebarkan kejahilan, semua dalam
bentuk baru
yang tanpa bandingan sepanjang umur
sejarah,
menerjemahkannya ke setiap bahasa
lengkap dengan petunjuk
pelaksanaannya
secara kolektif melakukan
penghancuran peradaban
mula-mula dalam kecepatan perlahan,
dan kini
dalam percepatan yang seperti tiada
dapat tertahankan.
Puisi menangisinya, mencatatnya
dengan huruf-huruf sedih, sesak
nafas, geram dan naik darah.
Puisi menepuk bahu dan mencoba
mengingatkan.
1990
PANTUN TERANG BULAN DI MIDWEST
Sebuah bulan sempurna
Bersinar agak merah
Lingkarannya di sana
Awan menggaris bawah
Sungai Mississippi
Lebar dan keruh
Bunyi-bunyi sepi
Amat gemuruh
Ladang-ladang jagung
Rawa-rawa dukana
Serangga mendengung
Sampaikah suara
Cuaca musim gugur
Bukit membisu
Asap yang hancur
Biru abu-abu
Danau yang di sana
Seribu burung belibis
Lereng pohon pina
Angin pun gerimis
1971
Selanjutnya: Kumpulan Puisi Karya Taufiq Ismail Bagian Keempat
Post a Comment for "Kumpulan Puisi Karya Taufiq Ismail Bagian 3"