Kumpulan Puisi Karya Taufiq Ismail Bagian 5
Pada kesempatan sebelumnya, Media
Pembelajaran pernah menyajikan Kumpulan Puisi Karya Taufiq Ismail pada bagian keempat. Nah, kali ini kami sajikan Puisi-puisi Karya Taufiq Ismail
Bagian Kelima. Silahkan di simak ya!
Kumpulan Puisi Karya Taufiq Ismail Bagian 5
PENGKHIANATAN
Siapa lagi sekarang akan ditangkap.
Menanti
Mungkin sebentar lagi mereka akan datang
mengetuk pintu
Mendorong masuk dan menjerembabkan nasib
Di ambang waktu. Dengan berbagai tuduhan
Barangkali agen mereka ada di antara kita
Dengan pestol Browning di pinggang dalam
Kita tak pernah pasti tahu
Mengapa engkau pucat sekali?
Intip cermin di atas lemari
Di luar angin pepohonan damar masih berseru
Atau jip-kah itu yang menderu?
Cek sekali lagi: sudahkah semua dokumen
dibakar
Bersihkan sisa abu di lubang kloset
Granat dan sten di dinding-papan
Hapalkan nama-nama palsu kalian
Sudjono! Hentikan goyangan kakimu
Merokoklah. Merokok di kolong kalau tak
tahan
Udara terlalu pekap di sini, dalam temaram
Kita makin berpeluh tapi jari kenapa
menggigil
Udara panas bergetah dengan bau ikan
sardin
Seorang bangkit pelan, mengintip di balik
gorden
Tiba-tiba aku berteriak, melolong-lolong
Tjok dan Momo menerkamku tak berbunyi
Dan menyumbat mulutku
Aku berontak, lepas dalam geliat liar
Tapi badan mereka bagai sapi Bali
Lenganku dikunci mereka ke punggung.
Badanku
Dibengkok-busurkan
Keluh serak dari mulutku
‘Lepaskan dia. Dan kau diam’
Kata Budi
‘Kau terlalu tegang’
Diapun menuding ke sudut kamar
Aku terhuyung ke sana, dua langkah
Dan tiga langkah surut kembali
Dalam gerakan terpincang, kataku serak:
‘Budi, aku telah berkhianat’
Seluruh kamar tegang dan pekat
Halilintar meledak dalam ruangan
Mata mereka nanap, duka perjuangan semakin
berat
Angin pepohonan damar menebas tajam bagai
kelewang
‘Budi, aku sudah berkhianat’
Aku melihat berkeliling. Mereka diam aneh
Lenganku mula mengulur, lalu bergantungan
Dengan gelisah aku berputar melihat
kawan-kawan
Mataku merah dan liar serigala
Meneriakkan ‘Aku pengkhianat!’
Dan aku tersedu, tertengkurap di tengah
kamar
Mereka semua diam. Sudjono mematikan
rokoknya
Aku menangis seperti anak lima tahun
Yang kehilangan baling-baling kertasnya
‘Tembaklah aku. Mereka sudah tahu semuanya
Sebentar lagi mereka datang
Aku tak tahan Budi, tembaklah aku di sini’
Budi memberi tanda. Senjata-senjata
dibongkar dari dinding
Dengan perkasa mereka siap berangkat dalam
formasi rahasia
Mereka akan menyelinap lewat gang belakang
Sepanjang urat-urat kota memperjuangkan
kemerdekaan
Di sela rapatnya rumah-rumah, meneruskan
gerakan di bawah tanah
Budi melucuti belatiku dan pada Momo memberi
perintah
Menggamit Tjok dan Maliki dengan tangan
perunggu
Perlahan yang lain berangkat satu-satu
Setiap orang memerlukan menoleh padaku
sebentar
Di lantai, aku menekuri jubin sebelah meja
Dan Momo yang akan menjalankan perintah
komandan
Berdiri dengan belatiku telanjang di
tangan.
1963
TENTANG SERSAN NURCHOLIS
Seorang sersan
Kakinya hilang
Sepuluh tahun yang lalu
Setiap siang
Terdengar siulnya
Di bengkel arloji
Sekali datang
Teman-temannya
Sudah orang resmi
Dengan senyum ditolaknya
Kartu-anggota
Bekas pejuang
Sersan Nurcholis
Kakinya hilang
Di zaman revolusi
Setiap siang
Terdengar siulnya
Di bengkel arloji
1958
1946: LARUT MALAM SUARA SEBUAH TRUK
Sebuah truk laskar menderu
Masuk kota Salatiga
Mereka menyanyikan lagu
‘Sudah Bebas Negeri Kita’
Di jalan Tuntang seorang anak kecil
Empat tahun, terjaga:
‘Ibu, akan pulangkah bapa,
Dan membawakan pestol buat saya?’
1963
ODA PADA VAN GOGH
Pohon sipres. Kafe tua
Di ujung jalan
Sepi. Sepi jua
Langit berombak
Bulan di sana
Sepi. Sepi namanya.
1964
DENGAN PUISI, AKU
Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbatas cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akan Datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Nafas zaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya.
1965
POTRET DI BERANDA
Di beranda rumah nenekku, di desa Baruh
Potretku telah tergantung 26 tahun lamanya
Bersama gambar-gambar sulaman ibuku
Dibuatnya tatkala masih perawan
Di dapur rumah nenekku, nenekku renta
Tergolek drum tua pemasak kerupuk kulit
Di atasnya sepasang tanduk hitam berdebu
Kerbau bajak kesayangan kakekku
Kerupuk kulit telah mengirim ibuku
Sekolah ke kota, jadi guru
Padi, lobak dan kentang ditanam kakekku
Yang disulap subur dalam hidayat
Dijunjung dan dipikul ke pasar
Dalam dingin dataran tinggi
Karena ibuku yang mau jadi guru
Dan ibuku bertemu ayahku
Yang dikirim nenekku ke surau menyabit
ilmu
Dengan ikan kolam, bawang dan wortel
Di ujung cangkul kakekku kukuh
Yang kembang dan berisi dalam rahmat
Terbungkuk-bungkuk dijunjung di hari pekan
Karena ayahku mau jadi guru
Maka lahirlah kami berenam
Dalam rahman
Dalam kesayangan
Dalam kesukaran
Di beranda rumah nenekku, di desa Baruh
Potretku telah tergantung 26 tahun lamanya
Bersama gambar-gambar buatan ibuku
Disulamnya tatkala masih perawan.
1963
ALMAMATER
Di depan gerbangmu tua pada hari ini
Kami menyilangkan tangan ke dada kiri
Tegak tengadah menatap bangunanmu
Genteng hitam dan dinding kusam. Berlumut
waktu
Untuk kali penghabisan
Marilah kita kenangkan tahun-tahun dahulu
Hari-hari kuliah di ruang fisika
Mengantuk pada pagi cericit burung gereja
Praktikum. Padang percobaan. Praktek
daerah
Corong anastesi dan kilau skalpel di kamar
bedah
Suara-suara menjalar sepanjang gang
Suara pasien yang pertama kali kujamah
Di aula ini, aula yang semakin kecil
Kita beragitasi, berpesta dan berkencan
Melupakan sengitnya ujian, tekanan
gurubesar
Melepaskannya pada hari-hari perpeloncoan
Pada filem dan musik yang murahan
Ya, kita sesekali butuh juga konser yang
baik
Drama Sophocles, Chekov atau ‘Jas Panjang
Pesanan’
Memperdebatkan politik, Tuhan dan para
negarawan
Tentang filsafat, perempuan serta
peperangan
Bayang benua abad dahulu lewat abad yang
kini
Di manakah kau sekarang berdiri? Di abad
ini
Dan bersyukurlah karena lewat gerbangmu
tua
Kau telah dilantik jadi warga Republik
Berpikir Bebas
Setelah bertahun diuji kesetiaan dan
keberanianmu
Dalam berpikir dan menyatakan kebebasan
suara hati
Berpijak di tanah air nusantara
Dan menggarap tahun-tahun kemerdekaan
Dengan penuh kecintaan
Dan kami bersyukur pada Tuhan
Yang telah melebarkan gerbang tua ini
Dan kami bersyukur pada ibu bapa
Yang sepanjang malam
Selalu berdoa tulus dan terbungkuk
membiayai kami
Dorongan kekasih sepenuh hati
Dan kami berhutang pada manusia
Yang telah menjadi guru-guru kami
Yang membayar pajak selama ini
Serta menjaga sepeda-sepeda kami
Pada hari ini di depan gerbangmu tua
Kami kenangkan cemara halamanmu dalam bau
formalin
Mikroskop. Kamar obat. Perpustakaan
Gulungan layar di kampung nelayan
Nyanyi pohon-pohon perkebunan
Angin hijau di padang-padang peternakan
Deru kemarau di padang-padang
penggembalaan
Dalam mimpi teknologi, kami kini dipanggil
Untuk menggarap tahun-tahun kemerdekaan
Dan mencintai manusianya
Mencintai kebebasannya.
1963
PEKALONGAN LIMA SORE
Kleneng bel beca
Debu aspal panggang
Sangar jalan pelabuhan
Terik kota pesisir
Tik-tik persneling Raleigh
Bungkus sarung palekat
Sungai kuning coklat
Nyanyi rumah yatim
Pejaja es lilin
Riuh Kampung Arab
Jembatan loji karatan
Genteng rumah pegadaian
Keringat pasar sepi
Kumis Raj Kapoor
Sengangar lilin batik
Deru pabrik tenun
Bal-balan Bong Cina
Harum tauto Tjarlam
Sirup kopyor dingin
Gorengan kuali tahu
Percikan minyak kelapa
Sisa bungkus megono
Panas teh melati
Tik-tok kuda dokar
Dengung DKW Hummel
Peluit sepur bomel
Klakson Debu Revolusi.
1961
Selanjutnya: Kumpulan Puisi Karya Taufiq Ismail Bagian Keenam
Post a Comment for "Kumpulan Puisi Karya Taufiq Ismail Bagian 5"