Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kumpulan Puisi Karya Taufiq Ismail Bagian 6

Kumpulan Puisi Karya Taufiq Ismail Bagian 6


Pada kesempatan sebelumnya, Media Pembelajaran pernah menyajikan Kumpulan Puisi Karya Taufiq Ismail pada bagian kelima. Nah, kali ini kami sajikan Puisi-puisi Karya Taufiq Ismail Bagian Keenam. Silahkan di simak ya!

 

Kumpulan Puisi Karya Taufiq Ismail Bagian 6

KARANGAN BUNGA 

Tiga anak kecil

Dalam langkah malu-malu

Datang ke Salemba

Sore itu

 

‘Ini dari kami bertiga

Pita hitam pada karangan bunga

Sebab kami ikut berduka

Bagi kakak yang ditembak mati

Siang tadi.’

1966

 

ADALAH BEL KECIL DI JENDELA

Sebuah bel kecil tergantung di jendela

Di bulan Juni

Berkelining sepi

 

Daun asam dan cericit burung gereja

Keletak kuda andong-andong Yogya

Kota tua membentang dalam debu

Sepanjang gang ditaburnya sunyi itu

 

Sebuah bel kecil tergantung di jendela

Di bulan Juli

Berke-

li-

ning

 

Sepi.

1965

 

SEBUAH JAKET BERLUMUR DARAH 

Sebuah jaket berlumur darah

Kami semua telah menatapmu

Telah berbagi duka yang agung

Dalam kepedihan bertahun-tahun

 

Sebuah sungai membatasi kita

Di bawah terik matahari Jakarta

Antara kebebasan dan penindasan

Berlapis senjata dan sangkur baja

 

Akan mundurkah kita sekarang

Seraya mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan’

Berikrar setia kepada tirani

Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?

 

Spanduk kumal itu, ya spanduk itu

Kami semua telah menatapmu

Dan di atas bangunan-bangunan

Menunduk bendera setengah tiang

 

Pesan itu telah sampai ke mana-mana

Melalui kendaraan yang melintas

Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan

Teriakan-teriakan di atap bis kota, pawai-pawai perkasa

Prosesi jenazah ke pemakaman

Mereka berkata

Semuanya berkata

LANJUTKAN PERJUANGAN!

1966

 

DARI CATATAN SEORANG DEMONSTRAN 

Inilah peperangan

Tanpa jenderal, tanpa senapan

Pada hari-hari yang mendung

Bahkan tanpa harapan

 

Di sinilah keberanian diuji

Kebenaran dicoba dihancurkan

Pada hari-hari berkabung

Di depan menghadang ribuan lawan.

1966

 

DEPAN SEKRETARIAT NEGARA 

Setelah korban diusung

Tergesa-gesa

Ke luar jalanan

 

Kami semua menyanyi

‘Gugur Bunga’

Perlahan-lahan

 

Perajurit ini

Membuka baretnya

Airmata tak tertahan

 

Di puncak Gayatri

Menunduklah bendera

Di belakangnya segumpal awan.

1966

 

SEORANG TUKANG RAMBUTAN PADA ISTRINYA 

“Tadi siang ada yang mati,

Dan yang mengantar banyak sekali

Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah

Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!

Sampai bensin juga turun harganya

Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula

Mereka kehausan dalam panas bukan main

Terbakar muka di atas truk terbuka

Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu

Biarlah sepuluh ikat juga

Memang sudah rezeki mereka

Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan

Seperti anak-anak kecil

“Hidup tukang rambutan! Hidup tukang rambutan!”

Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya

Dan ada yang turun dari truk, bu

Mengejar dan menyalami saya

“Hidup pak rambutan!” sorak mereka

 

Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar

“Hidup pak rambutan!” sorak mereka

“Terima kasih, pak, terima kasih!

Bapak setuju kami, bukan?”

Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara

“Doakan perjuangan kami, pak,”

Mereka naik truk kembali

Masih meneriakkan terima kasih mereka

“Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”

Saya tersedu, bu. Saya tersedu

Belum pernah seumur hidup

Orang berterima-kasih begitu jujurnya

Pada orang kecil seperti kita.

1966

 

KITA ADALAH PEMILIK SAH REPUBLIK INI 

Tidak ada pilihan lain. Kita harus

Berjalan terus

Karena berhenti atau mundur

Berarti hancur

 

Apakah akan kita jual keyakinan kita

Dalam pengabdian tanpa harga

Akan maukah kita duduk satu meja

Dengan para pembunuh tahun yang lalu

Dalam setiap kalimat yang berakhiran

“Duli Tuanku?”

 

Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus

Berjalan terus

Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan

Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh

Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara

Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama

Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka

Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan

Dan seribu pengeras suara yang hampa suara

 

Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus

Berjalan terus.

1966

 

ARITHMATIK SEDERHANA

Menyimak Adham Arsyad

 

Selama ini kita selalu

Ragu-ragu

 

Dan berkata:

Dua tambah dua

Mudah-mudahan sama dengan empat.

1966

 

BENTENG 

Sesudah siang panas yang meletihkan

Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas

Dan kita kembali ke kampus ini berlindung

Bersandar dan berbaring, ada yang merenung

 

Di lantai bungkus nasi bertebaran

Dari para dermawan tidak dikenal

Kulit duku dan pecahan kulit rambutan

Lewatlah di samping Kontingen Bandung

Ada yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-mana

Semuanya kumal, semuanya tak bicara

Tapi kita tidak akan terpatahkan

Oleh seribu senjata dan seribu tiran

 

Tak sempat lagi kita pikirkan

Keperluan-keperluan kecil seharian

Studi, kamar-tumpangan dan percintaan

Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam

Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam.

1966

 

DARI IBU SEORANG DEMONSTRAN 

“Ibu telah merelakan kalian

Untuk berangkat demonstrasi

Karena kalian pergi menyempurnakan

Kemerdekaan negeri ini

 

Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada

Atau gas airmata

Tapi langsung peluru tajam

Tapi itulah yang dihadapi

Ayah kalian almarhum

Delapan belas tahun yang lalu

 

Pergilah pergi, setiap pagi

Setelah dahi dan pipi kalian

Ibu ciumi

Mungkin ini pelukan penghabisan

(Ibu itu menyeka sudut matanya)

 

Tapi ingatlah, sekali lagi

Jika logam itu memang memuat nama kalian

(Ibu itu tersedu sesaat)

 

Ibu relakan

Tapi jangan di saat terakhir

Kauteriakkan kebencian

Atau dendam kesumat

Pada seseorang

Walaupun betapa zalimnya

Orang itu

 

Niatkanlah menegakkan kalimah Allah

Di atas bumi kita ini

Sebelum kalian melangkah setiap pagi

Sunyi dari dendam dan kebencian

Kemudian lafazkan kesaksian pada Tuhan

Serta Rasul kita yang tercinta

 

Pergilah pergi

Iwan, Ida dan Hadi

Pergilah pergi

Pagi ini.

 

(Mereka telah berpamitan dengan ibu dicinta

Beberapa saat tangannya meraba rambut mereka

Dan berangkatlah mereka bertiga

Tanpa menoleh lagi, tanpa kata-kata).

1966

 

MEMANG SELALU DEMIKIAN, HADI 

Setiap perjuangan selalu melahirkan

Sejumlah pengkhianat dan para penjilat

Jangan kau gusar, Hadi

 

Setiap perjuangan selalu menghadapkan kita

Pada kaum yang bimbang menghadapi gelombang

Jangan kau kecewa, Hadi

 

Setiap perjuangan yang akan menang

Selalu mendatangkan pahlawan jadi-jadian

Dan para jagoan kesiangan

 

Memang demikianlah halnya, Hadi.

1966

 

BEBERAPA URUSAN KITA 

Tentang nasib angkatan ini

Itu adalah urusan sejarah

Tapi tentang menegakkan kebenaran

Itu urusan kita

 

Apakah cuaca akan cemas di atas

Hingga selalu kita bernaung mendung

Apakah jantung kita masih berdegup kencang

Dan barisan kita selalu bukit-batu-karang?

 

Berjagalah terus. Berjagalah!

Siang kita bila berlucut laras senapan

Malam kita bila terancam penyergapan

Berjagalah terus. Berjagalah!

 

Mungkin kita tak akan melihat hari nanti

Mungkin tidak kau. Tidak aku. Siapa bisa tahu

Tapi itu urusan Tuhan

Masalah kemenangan, ketenteraman tanpa tiran

 

Tentang nasib angkatan ini

Itu urusan sejarah

Tetapi tentang menegakkan kebenaran

Itu urusan kita.

1966

 

REFLEKSI SEORANG PEJUANG TUA 

Tentara rakyat telah melucuti Kebatilan

Setelah mereka menyimak deru sejarah

Dalam regu perkasa mulailah melangkah

Karena perjuangan pada hari-hari ini

Adalah perjuangan dari kalbu yang murni

Belum pernah kesatuan terasa begini eratnya

Kecuali dua puluh tahun yang lalu

 

Mahasiswa telah meninggalkan ruang-kuliahnya

Pelajar muda berlarian ke jalan-jalan raya

Mereka kembali menyeru-nyeru

Nama kau, Kemerdekaan

Seperti dua puluh tahun yang lalu

 

Spiral sejarah telah mengantarkan kita

Pada titik ini

Tak ada seorang pun tiran

Sanggup di tengah jalan mengangkat tangan

Dan berseru: Berhenti!

 

Tidak ada. Dan kalau pun ada

Tidak bisa

 

Karena perjuangan pada hari-hari ini

Adalah perjuangan dimulai dari sunyi

Belum pernah kesatuan terasa begini eratnya

Kecuali duapuluh tahun yang lalu.

1966

 

Demikian sajian Kumpulan Puisi Karya Taufiq Ismail. Semoga bermanfaat!!!

Post a Comment for "Kumpulan Puisi Karya Taufiq Ismail Bagian 6"

---CARI TAHU BERITA MENARIK---