Kumpulan Puisi Karya Taufiq Ismail
Kumpulan Puisi Karya Taufiq Ismail
Taufiq Ismail adalah seorang penyair dan
sastrawan Indonesia. Beliau lahir 25 Juni 1935 di Bukittinggi dan dibesarkan di
Pekalongan. Taufik Ismail tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka
membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA.
Berikut adalah Kumpulan Puisi Karya Taufiq
Ismail
TAKUT ‘66, TAKUT ‘98
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa.
1998
12 MEI, 1998
Mengenang elang Mulya, Hery Hertanto,
Hendriawan Lesmana dan Hafidhin Royan
Empat syuhada berangkat pada suatu malam,
gerimis air mata
tertahan di hari keesokan, telinga kami
lekapkan ke tanah kuburan
dan simaklah itu sedu-sedan,
Mereka anak muda pengembara tiada sendiri,
mengukir reformasi
karena jemu deformasi, dengarkan saban
hari langkah sahabat-
sahabatmu beribu menderu-deru,
Kartu mahasiswa telah disimpan dan tas
kuliah turun dari bahu.
Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom
abad dua puluh satu,
Tapi malaikat telah mencatat indeks
prestasi kalian tertinggi di
Trisakti bahkan di seluruh negeri, karena
kalian berani
mengukir alfabet pertama dari gelombang
ini dengan
darah arteri sendiri,
Merah putih yang setengah tiang ini,
merunduk di bawah garang
matahari, tak mampu mengibarkan diri
karena angin lama
bersembunyi,
Tapi perluru logam telah kami patahkan
dalam doa bersama, dan
kalian pahlawan bersih dari dendam, karena
jalan masih
jauh dan kita perlukan peta dari tuhan.
1998
TENTANG JOKI JAM SEMBILAN PAGI
Beras berkata kepada saya, bahwa kacang
kedele dan kelapa sawit, ayam daging, sapi inseminasi, ikan laut, dan ikan
daratan, semua dalam keadaan segar bugar tidak kurang suatu apa. Dia tidak
menyebut mengenai apa yang dihasilkan hutan yang lama terbakar dan saya lupa
pula menanyakannya,
Mesin giling menelponku baru-baru ini,
bilang bahwa industri elektronika, komponen cip, kimia dasar, seluloid,
otomotif, telekomunikasi, alat-alat berat, kereta api, kapal laut an kapal
terbang dalam situasi menyenangkan dan sehat-sehat. Dia tidak berkisah tentang
orang-orang yang berhasil menggerek lobang-lobang besar di bawah lantai bank
dan rasanya aku sudah tahu jalan ceritanya,
Aspal bertanya kepada saya apa hubungan
semua ini dengan kesenian. Seorang anak kecil yang jadi joki jam sembilan pagi
di jalan Thamrin cepat menjawab, “oom aspal, kesenian itu bagian dari
kebudayaan, ekonomi bagian dari kebudayaan, sehinggamengacungkan jari di tepi
jalan seperti saya ini juga bentuk seni, agar saya dapat uang seribu sebagai
joki untuk mendapat ekonomi.”
“Anak bijak, siap gerangan namamu?” tanya
saya.
“Ronggowarsito,” jawabnya segera
“Ah, kamu,” kata saya. Dia bersiul-siul.
“Siapa namamu?”
“Ronggowarsito,” jawabnya pelan. Dia
bersiul-siul, lalu mengumam lagu.*)
JAMAN EDAN
Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya keduman melik
Kaliren wekasanipun
Dilalah kersaning Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lan waspada
ZAMAN EDAN
Hidup di zaman edan
Suasana jadi serba sulit
Ikut edan tak tahan
Tak ikut
Tak kebagian
Malah dapat kesengsaraan
Begitulah kehendak Allah
Sebahagia-bahagia orang lupa
Lebih bahagia orang sadar dan waspada
Kemudian saya berjalan dengan sahabatku
Ronggo mengurus bisnis ke Sudirman Central Business District, menyeberang ke
Panin Centre, masuk ke Parkview Apartment, mencari logo di Jakarta Design
Centre, lalu Ronggo minum milk shake dan aku makan banana split di Pondok Indah
Mall, memikirkan keuangan dunia di Jakarta Stock Exchange Building, makan angin
di Royal Sentul Highland, memeriksakan mata di Jakarta Eye Centre, mencari
kontrakan rumah di Luxury California Town Houses, kemudian mandi-mandi di Lido
Lake Resort. Edan.
Kemudian saya berjalan dengan sahabatku
Ronggo ke pekuburan di pinggiran kota, suram berkabut suasananya, kambojanya
kering-kering kulit dahannya, rumpun bambunya gemersik ditegur angin yang
kurang bersemangat melakukan tiupannya, aneh aku berpikir tentang di mana
gerangan mahkamah pengadilan ketika melihat nisan berjajar, ada yang bertulisan
R.I.P., ada yang berkaligrafi alif-lam-wau-alif-lam-ra, dan kubaca nama Abadi,
Pedoman, Indonesia Raya, KAMI, Sinar Harapan, Prioritas, Tempo, editor, DeTik.
Di mana alamat mahkamah pengadilan, berapa nomor teleponnya dan tolong beri
saya nomo faksimilenya? Edan.
Lalu saya mengingat Perburuan, Mastodon
dan Burung Kondor, Wasdri, Sam Pek Eng Tay, Opera Kecoa, Pak Kanjeng, Demi
Orang-orang Rangkasbitung, dan demikian panjang daftar pencekalan, yang
penjelasannya pada satu meja berbunyi A, di meja lain A-aksen, di meja
berikutnya A-dua aksen. Edan.
Kemudian debu Galunggung, Kedung Ombo,
SDSB, Gamalama, Liwa, Nipah, Timor Timur, Marsinah yang masuk kubur, keluar
kubur dan masuk kubur lagi, Palestina, Bosnia, Chechnya yang tiada
reda-redanya. Edan.
Memasuki mesin waktu saya berlari bersama
sahabatku Ronggo menghindari badai prahara yang memutar suasana, menjepit dan
menggencet semua. Mereka mengejar-ngejar orang, melarang buku, merampoki
perpustakaan, menimbun dan membakari buku, memaksakan ideologi seni, membabat
penerbit independen dan membawa panji tujuan menghalalkan cara. Kemudian
prahara reda, orang-orang bekerja, tapi ada juga yang mencoba membengkokkan
sejarah dan bila diluruskan kembali, ini disebut membalas dendam. Edan.
Mas Ronggo, selamat jalan. Dia melengkapi
kendaraan 3-dalam-1. Mas Ronggo, selamat jalan mengais nafkah yang jernih dan
bersih …
***
Sesudah melambai Mas Ronggo saya termangu
di pekarangan Cikini Raya 73. Setiap bentuk seni punya masalah yang tak kunjung
usai dan selesai. Film makin jauh dari cita-cita menjadi tuan rumah di negeri
sendiri, serbuan medium televisi telah mengguncang negeri, seni rupa belum
punya Galeri Seni Rupa Nasional, pencekalan kambuhan pementasan teater masih
terasa, dikotomi tari daerah dan nasional, musik yang terus mencari dan
mencari, dan sastra yang jalan di tempat. Pendidikan tinggi kesenian tak
putus-putus mencoba menemukan bentuknya yang tepat guna. Sekeping potret sesaat
perlu, tapi tidak sepatutnya kita dibelenggu daftar keluhan, karena modal kita,
yaitu cita-cita bersama, masih ada.
Pidato kesenian ini tidak menuliskan resep
manjur untuk pelaksanaan praktikal, dia cuma merangsang beberapa dahan perasaan
dan fikiran lewat bentuk puisi. Dia menegaskan akar Indonesia dalam tahun ke-50
usia negeri ini. Dia mencoba mengingatkan bahwa dalam gelombang besar
materialisme, keserakahan dan rasa tak acuh pada penderitaan manusia di dunia
ini, pemberhalaan terhadap apa pun ditolak. Kesenian kita adalah kesenian yang
bermanfaat bagi manusia serta lingkungannya dalam dataran bumi, dan bermakna
maksimum dalam garis tegak lurus menuju Yang Maha Pencipta Keindahan. Dalam
pelaksanaan kesenian seniman tidak dapat mengasing duduk mencangkung di sebuah
pulau alit, atau berjalan sendiri tanpa mengindahkan siapa-siapa. Dia percaya
pada bentuk kerjasama dan selalu menghargainya. Dia memerlukan kemerdekaan
kreatif, dan untuk itu dia tahu bahwa akan ada kemungkinan benturan. Dia
percaya pada hati nuraninya dan yakin pada kekuatan doa. Perasaannya akrab dan
lekat pada orang-orang malang dan berkekurangan. Seninya adalah untuk
mengingatkan.
1995
*) Abad 19, Bait ketujuh Serat Kalatida,
terjemahan Slamet Sukirnanto
MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA
I
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui
dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point
Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S.
Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini
II
Langit langit akhlak rubuh, di atas
negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang
Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan
Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan
Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di
belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
III
Di negeriku, selingkuh birokrasi
peringkatnya di dunia nomor
satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan
birokrasi berterang-terang
curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan,
kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan
kakek secara
hancur-hancuran seujung kuku tak perlu
malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat
besar, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam,
kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh
masuk
kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak
menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani
seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen, dan dirjen
sejati, agar
orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan
umum sangat-
sangat-sangat-sangat-sangat jelas penipuan
besar-
besaran tanpa seujung rambut pun bersalah
perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah,
buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak
habis dan tak
putus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat
belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid
dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang
saja sementara mereka kalah, kelak
perencana dan
pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam
akhirat akan
diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara
agak rahasia dan tidak
rahasia dapat ditawar dalam bentuk
jual-beli, kabarnya
dengan sepotong SK suatu hari akan masuk
Bursa Efek
Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua
puluh pungutan, lima
belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam
ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap,
mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar
disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi
pertunjukan teror
penonton antarkota cuma karena sebagian
sangat kecil
bangsa kita tak pernah bersedia menerima
skor
pertandingan yang disetujui bersama,
Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita
tak terlibat Piala
Dunia demi keamanan antarbangsa, lagi pula
Piala
Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina,
India, Rusia dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah
Indonesia jadi penonton lewat satelit
saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan
penyiksaan rakyat
terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk,
Lampung, Haur
Koneng, Nipah, Santa Cruz, Irian dan
Banyuwangi, ada pula
pembantahan terang-terangan yang merupakan
dusta
terang-terangan di bawah cahaya surya
terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke
pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam
kitab masih ada, tapi dalam
kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di
tumpukan jerami selepas menuai padi.
IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku
berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang
Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan
Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan
Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di
belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
1998
Selanjutnya: Kumpulan Puisi Karya Taufiq Ismail Bagian Kedua
Post a Comment for "Kumpulan Puisi Karya Taufiq Ismail"